Selasa, 25 November 2008

Riba & Bunga Bank

A. Riba

Riba yang berasal dari bahasa Arab artinya tambahan (ziyadah, Arab/addition, Inggris), yang berarti : tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman.

اَلرِّبَـافيِ الشَّرْعِ هُوَ فَصْلٌ خَـالٍ عَنْ عِوَاضٍ شُرِطَ ِلاَحَدِالْـعَاقِدِيْنَ

Kelebihan/tambahan pembayaran tanpa ada ganti/imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad / transaksi.

Ada yang membedakan antara riba dan rente/bunga seperti bahwa riba adalah untuk pinjaman yang bersifat konsumtif, sedangkan rente/riba untuk pinjaman yang bersifat produktif.

Adapun dampak akibat praktek riba itu antara lain ialah :

1. Menyebabkan eksploitasi (pemerasan) oleh si kaya terhadap si miskin

2. Uang modal besar yang dikuasai oleh the haves tidak disalurkan ke dalam usaha-usaha yang produktif, misalnya pertanian, perkebunan, industri, dan sebagainya yang dapat menciptakan lapangan kerja banyak, yang sangat bermanfaat bagi masyarakat dan juga bagi pemilik modal sendiri, tetapi modal besar itu justru disalurkan dalam perkreditan berbunga yang belum produktif.

3. Bisa menyebabkan kebangkrutan usaha dan pada gilirannya bisa mengakibatkan keretakan rumah tangga, jika si peminjam itu tidak mampu mengembalikan pinjaman dan bunganya.

Karena melihat bahaya besar atau dampak negatif dari praktek riba itulah, maka Nabi Muhammad membuat perjanjian dengan kelompok Yahudi, bahwa mereka tidak dibenarkan menjalankan praktek riba dan Islam pun dengan tegas nelarang riba. Di dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang membicarakan riba secara eksplisit. Pada periode Mekah sebelum hijrah, Allah berfirman dalam surat ar-Rum ayat 39, yang menerangkan bahwa bagi Allah orang itu sebenarnya tidak melipatgandakan hartanya dengan jalan riba, melainkan dengan jalan zakat yang dikeluarkan karena Allah semata-mata.

Di dalam hadits-hadits Nabi, yang menegaskan bahwa riba itu termasuk tujuh dosa besar, yakni syirik, sihir, membunuh anak yatim, melarikan diri waktu pertempuran dan menuduh zina wanita yang baik-baik.

لَعَـنَ الله ُ آكِلَ الرِّبَـا وَهُوَ كِلَّهُ وَشَــاهِـدَيْهِ وَكَاتِبَـهُ (الحديث)

”Allah mengutuk orang yang mengambil riba (orang yang memberi pinjaman), orang yang memberikan riba (orang yang utang), dua orang saksinya, dan orang yang mencatatnya.”

B. Macam-Macam Riba

Ibnu al-Qayyim, sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman Isa menerangkan bahwa riba ada dua macam, yaitu :

a) Riba yang jelas, yang diharamkan karena adanya keadaan sendiri, yaitu riba nasiah (riba yang terjadi karena adanya penundaan pembayaran hutang). Riba nasiah ini hanya di perbolehkan dalam keadaan darurat.

b) Riba yang samar, yang diharamkan karena sebab lain, yaitu riba yang terjadi karena adanya tambahan pada jual beli benda/bahan yang sejenis.

اَلْحَــاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَـةَ الضَّرُوْرَةُ تُبِيْحُ الْمَحْطُوْرَاتِ.

Hajat (keperluan yang mendesak/penting) itu menempati di tempat terpaksa, sedangkan keadaan darurat itu menyebabkan boleh melakukan hal-hal yang dilarang.


Menurut para ulama, riba ada empat macam

a) Riba Fadli, yaitu riba dengan sebab tukar menukar benda, barang sejenis (sama) dengan tidak sama ukuran jumlahnya. Misalnya satu ekor kambing ditukar dengan satu ekor kambing yang berbeda besarnya satu gram emas ditukar dengan seperempat gram emas dengan kadar yang sama. Sabda Rasul SAW
عَنْ آبِى سَعِيْدٍ ن الْجُدْرِيِّ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تَبِيْعُوْاالذَّهَبِ اِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ وَلاَ تُشِفُّوْا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلاَتَبِعُواالْوَرِقَ بِالْوَرِقِ اِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ وَلاَ تُشِقُوْابَعْضَهَاعَلَى بَعْضٍ وَلاَتَبِعُوْامِنْهَاغَائِبًابِنَاجِزٍ Artinya:
“ Dari Abi Said Al Khudry, sesungguhnya Rasulullah SAW. Telah bersabda, “Janganlah kamu jual emas dengan emas kecuali dalam timbangan yang sama dan janganlah kamu tambah sebagian atas sebagiannya dan janganlah kamu jual uang kertas dengan uang kertas kecuali dalam nilai yang sama, dan jangan kamu tambah sebagian atas sebagiannya, dan janganlah kamu jual barang yang nyata (riil) dengan yang abstrak (ghaib).” (riwayat Bukhari dan muslim)

Riba Fadli atau riba tersembunyi ini dilarang karena dapat membawa kepada riba nasi’ah (riba jail) artinya riba yang nyata

b) Riba Qardhi, yaitu riba yang terjadi karena adanya proses utang piutang atau pinjam meminjam dengan syarat keuntungan (bunga) dari orang yang meminjam atau yang berhutang. Misalnya, seseorang meminjam uang sebesar sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta) kemudian diharuskan membayarnya Rp. 1.300.000,- (satu juta Tiga ratus ribu rupiah)

Terhadap bentuk transsaksi seperti ini dapat dikategorikan menjadi riba, seperti sabda Rasulullah Saw

“Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba.” (Riwayat Baihaqi)

c) Riba Nasi’ah, ialah tambahan yang disyaratkan oleh orang yang mengutangi dari orang yang berutang sebagai imbalan atas penangguhan (penundaan) pembayaran utangnya. Misalnya si A meminjam uang Rp. 1.000.000,- kepada si B dengan perjanjian waktu mengembalikannya satu bulan, setelah jatuh tempo si A belum dapat mengembalikan utangnya. Untuk itu, si A menyanggupi memberi tambahan pembayaran jika si B mau menunda jangka waktunya. Contoh lain, si B menawarkan kepada si A untuk membayar utangnya sekarang atau minta ditunda dengan memberikan tambahan. Mengenai hal ini Rasulullah SAW. Menegaskan bahwa:
Artinya:
Dari Samrah bin Jundub, sesungguhnya Nabi Muhammad saw. Telah melarang jual beli hewan dengan hewan dengan bertenggang waktu.” (Riwayat Imam Lima dan dishahihkan oleh Turmudzi dan Ibnu Jarud)

d) Riba Yad, yaitu riba dengan berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima antara penjual dan pembeli. Misalnya, seseorang membeli satu kuintal beras. Setelah dibayar, sipenjual langsung pergi sedangkan berasnya dalam karung belum ditimbang apakah cukup atau tidak. Jual beli ini belum jelas yang sebenarnya. Sabda Rasulullah SAW.

Artinya:

“Emas dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaknya serupa dan sama banyaknya, tunai dengan tunai, apabila berlainan jenisnya boleh kamu menjual sekehendamu asal tunai”. (Riwayat Muslim)

Bunga Bank

Menurut The American Heritage DICTIONARY of the English Language : Interest is "A charge for a financial loan, usually a precentage of the amount loaned". (lihat H. Karnaen A. Perwataatmadja, S.E., MPA). Bunga adalah sejumlah uang yang dibayar atau untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau prosentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang dinamakan suku bunga modal.

Kata riba berhubungan dengan pengambilan bunga yang berlebihan yang dilakukan pemberi pinjaman uang terhadap peminjam . Penjelasan ini sama dengan penjelasan kata “usury” dalam bahasa Inggris untuk kata riba. Sementara itu bunga diterjemahkan sebagai interest

Di Eropa, riba dilarang oleh gereja atau hukum Canon. Akan tetapi, pada akhir abad-13, pengaruh gereja ortodoks mulai melemah dan orang mulai kompromi dengan riba. Selanjutnya pelarangan riba di Eropa dihilangkan. Di Inggris, pelarangan itu dicabut pada 1545, saat pemerintahan Raja Henry VIII. Pada zaman itulah, istilah usury (riba) diganti dengan istilah interest (bunga). Lama-kelamaan tercipta citra bahwa riba tidak sama dengan bunga. Riba dilarang, bunga tidak.

Ulama Islam berpandangan bahwa bunga uang me­rupakan bagian dari teori riba. Ibnu Qayyim membedakan antara riba terang-terangan (al-jali) dan riba terselubung (al-khafi). Definisi fiqih yang menjelaskan riba karena perpanjangan waktu (an-nasi'ah) dan riba dalam pertukaran barang sejenis (al-fadl). Bunga bank termasuk dalam riba nasi'ah ini. Jadi, teori pembungaan uang hanya merupakan bagian dari teori riba yang jauh lebih komprehensif. Dan pembungaan uang oleh bank lebih parah dari praktik riba nasi'ah pada zaman Jahiliah dimana riba nasi'ah di zaman Jahiliyah baru dikenakan pada saat peminjam tidak mampu melunasi utangnya dan meminta perpanjangan waktu. Bila si pe­minjam mampu melunasi pada saat jatuh temponya, tidak dikenakan riba, padahal bank konvensional telah mengenakan bunga sehari setelah uang dipinjamkan.

Sabda Rasulullah SAW,”Jika seseorang memberikan pinjaman kepada sesorang lainnya, dia tidak boleh menerima hadiah” (HR. Bukhari). Dalam hadits yang lain Rasulullah bersabda,”Ketika sesorang memberikan pinjaman kepada orang lain dan peminjam memberikannya makanan atau tumpangan hewan, dia tidak boleh menerimanya kecuali keduanya terbiasa saling memberikan pertolongan” (HR. Baihaqi). Jawaban Rasulullah ini menyamakan riba dengan apa yang lazim dipahami sebagai bunga (bunga bank).

Allah SWT berfirman,

”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (al-Baqarah: 278-279).

Riba menyuburkan sifat rakus dan kesemena-menaan. Juga memudahkan berkembangnya sifat materialisme manusia yang tidak memikirkan hal lain kecuali memperbanyak dan menimbun harta tanpa mempedulikan kebutuhan masyarakat dan lingkungannya.

Beban bunga akan membuat orang membutuhkan banyak keuntungan yang demikian banyak dari sesamanya.

Menurut fatwa MUI tentang bunga adalah sebagai berikut:

  1. Bunga (Interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang di per-hitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut,berdasarkan tempo waktu,diperhitungkan secara pasti di muka,dan pada umumnya berdasarkan persentase.
  2. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penagguhan dalam pembayaran yang di perjanjikan sebelumnya, dan inilah yang disebut Riba Nasi’ah.

Hukum Bunga (interest) menurut fatwa MUI adalah:

  1. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, Ya ini Riba Nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya.
  2. Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram,baik di lakukan oleh Bank, Asuransi,Pasar Modal, Pegadian, Koperasi, Dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.

Mayoritas ulama mengatakan bahwa bunga bank adalah riba dan hukumnya haram. Dan sebagian yang lain mengatakan bahwa bunga bank adalah bukan riba, maka hukumnyapun tidak haram.

Mayoritas ulama berargumentasi bahwa bunga bank tidak berbeda dengan riba hanya dalam bentuk dan tekhnis operasionalnya saja (dalil-dalilnya sama dengan apa yang diungkapkan oleh MUI).

Adapun sebagian ulama yang mengatakan bahwa bunga bank bukan merupakan riba berargumentasi dengan dalil-dalil secara globalnya sebagai berikut:

a) bahwa bunga bank sifatnya fluktuatif dan ditentukan berdasarkan keuntungan yang diperoleh secara standar dari neraca ekonomi sebuah negara. Jadi bunga bank adalah sama dengan keuntungan dari sebuah perusahaan yang membagikan keuntungan yang diperolehnya.Pendapat tersebut jelas sekali tidak sesuai dengan realitanya, karena bunga bank ditentukan bukan berdasarkan keuntungan standar yang dihasilkan oleh ekonomi negara tapi ditentukan oleh banyak faktor, salah satunya adalah tingkat inflasi, cadangan devisa negara, strategi ekonomi, pertumbuhan ekonomi suatu negara dan lainnya.

b) bahwa bank adalah sebuah lembaga investasi yang mana mereka menginvestasikan dana nasabahnya dalam bentuk-bentuk investasi yang menguntungkan. Jadi fungsi bank dalam hal ini adalah sebagai mudharib (pengelola dana untuk di investasikan) dan bukan sebagai broker atau mediator yang meminjamkan lagi dana nasabahnya kepada pihak ketiga dengan sistem bunga. Bila fungsi bank sebagai mudharib/ patner of share maka hal itu dibolehkan dalam fiqh Islam.

c) Melihat realita, fungsi bank lebih dominan kepada mediator untuk meminjam kembali uang nasabahnya kepada pihak ketiga dengan rate bunganya lebih tinggi dibandingkan yang diberikan kepada nasabahnya.

Adapun ulama lain mengatakan bahwa bunga bank adalah haram tapi karena madharat maka hal itu dibolehkan. Pendapat ini untuk 20 tahun yang lalu mungkin bisa diterima tapi untuk kondisi sekarang, dimana bank-bank syariah sudah menjamur dimana-mana bahkan bank-konvensionalpun sudah mulai membuka cabang syariahnya (dual system).

Dari uraian singkat di atas. Jelaslah bahwa bunga bank dalam berbagai bentuknya baik rekening biasa, rekening berjangka, rekening deposito dan instrument-instrument lainnya yang menggunakan bunga adalah haram.

D. Pengharaman Bunga Bank

Tentang pengharaman bunga bank (karena bunga bank sama denga riba) melalui berbagai fatwa yang dikemukan sebagai berikut :

a) Muktamar II Lembaga Riset Islam Al Azhar, yang dilaksanakan di Kairo (bulan mei 1965) dan dihadiri utusan dari 35 negara Islam telah menyepakati beberapa hal diantaranya : Bunga (interest) dari semua pinjaman, hukumnya riba dan diharamkan

b) Rabithah Al-Alam Al-Islami (Keputusan No.6 Sidang ke 9 ) di Mekkah, 12-19 Rajab 1406 H,menyatakan : bunga bank yang berlaku pada perbankan konvensional adalah riba yang diharamkan

c) Majma Fiqh Islami Organisasi KonferensiIslam/OKI (keputusan No.10, OKI ke dua 22-28 Desember 1985 yang menyatakan : Setiap tambahan (interest) atas hutang yang telah jatuh tempo dan orang yang berutang tidak mampu membayarnya dan sebagai imbalan atas penundaaanya itu, demikian pula tambahan (interest) atas pinjaman yang ditetapkan di awal perjanjian, maka kedua bentuk itu adalah riba yang diharamkan dalam syariat

d) Bahtsul Masail, dalam Munas di Bandar Lampung tahun 1992, merekomendasikan agar Nadhatul Ulama (PBNU) mendirikan bank Islam NU dengan sistem tanpa bunga. Sebenarnya dikalangan NU masih terdapat tiga pendapat tentang bunga bank, ada yang menyatakan bunga bank sama dengan riba, ada yang menyatakan tidak sama dan ada yang menyatakan subhat (meragukan)

e) Lajnah Tarjih (Muhammadiyah) tahun 1968 di Sidoarjo menyarankan kepada Pengurus Pusat (PP Muhammadiyah) untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam

f) Majelis Ulama Indonesia dalam lokakarya Alim Ulama di Cisarua Tahun 1991 bertekad bahwa MUI harus segera mendirikan bank Alternatif

g) Fatwa Majelis Ulama Indonesia Pada Akhir Tahun 2003 yang menyatakan bahwa bunga bank haram

h) Fatma Lajnah Tarjih Muhammadiyah yang menyatakan bunga bank termasuk kategori riba sehingga bunga bank menjadi haram hukumnya

E. Bunga Dalam Perspektif Non-Muslim

Bunga / riba bukan hanya persoalan umat Islam, tetapi berbagai umat yang lainnya juga memandang serius praktek bunga/riba tersebut. Berikut bagaimana pandangan non-muslim dalam memandang bunga/riba, diantaranya :

1. Konsep bunga menurut kalangan Yahudi

Orang-orang Yahudi dilarang mempraktekkan pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament (Perjanjian Lama) maupun undang-undang Talmud.

Kitab Levicitus (Imamat) pasal 35 ayat 7 menyatakan :

"Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uang-mu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta bunga."

2. Konsep bunga menurut kalangan Yunani dan Romawi

Pada masa Yunani sekitar abad V SM – IV M telah terdapat undang-undang yang membenarkan memngambil bunga selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan tingkat maksimal yang dibenarkan hukum (maximum legal rate). Nilai suku bunga selalu berubah-rubah sesuai dengan waktu. Meskipun undang-undang membenarkan pengambilan bunga tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga berbunga (double countable).

Pada masa pemerintahan Genucia (342 SM) kegitan pengambilan bunga tidak diperbolehkan, tapi pada masa Unciaria (88 SM) prektek tersebut dibolehkan lagi seperti semula. Namun demikian praktek pengambilan bunga dicerca oleh ahli filsafat Yunani, diantaranya : Plato (427-347 SM), ia mengecam sistem bunga berdasarkan dua alasan, yaitu : bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat dan bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin.

Aristoteles (384-322 SM) menyatakan uang adalah sebagai alat tukar (medium exchange). Uang bukan alat untuk mengahasilkan lewat bunga. Ia juga menyebutkan bunga sebagai uang yang berasal dari uang yang keberadaannya dari sesuatu yang belum tentu pasti terjadi. Jadi pengambilan bunga merupakan sesuatu yang tidak adil.
Ahli filsafat Romawi, Cato (234-149 SM), ia memberikan dua ilustrasi untuk melukiskan perbedaan antara perniagaan dan memberi pinjaman ; pertama, perniagaan adalah suatu pekerjaan yang mempunyai resiko sedangkan memberi pinjaman dengan bunga adalah sesuatu yang tidak pantas. Kedua, dalam tradisi mereka terdapat perbandingan antara seorang pencuri dengan seorang pemakan bunga. Pencuri akan didenda dua kali lipat sedangkan pemakan bunga akan didenda empat kali lipat. Sedangkan Cicero (106-43 SM) memberi nasehat kepada anaknya agar menjauhi dua pekerjaan; memungut cukai dan memberi pinjaman dengan bunga. Ringkasnya ahli filsafat Yunani dan Romawi menganggap bunga sesuatu yang hina dan keji.

3. Konsep bunga menurut kalangan Kristen

Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas, namun sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-5 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan :

“Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat.”'

Ketidak tegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktekkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen (abad I hingga XII) yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII - XVI) yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis Kristen (abad XVI - tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga.

Pandangan Para Pendeta Awal Kristen (Abad I - XII) pada masa ini, umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk masalah pengambilan bunga kepada Kitab Perjanjian Lama yang juga diimani oleh orang Kristen. St. Basil (329 - 379) menganggap mereka yang memakan bunga sebagai orang yang tidak berperi-kemanusiaan. Baginya, mengambil bunga adalah mengambil keuntungan dari orang yang memerlukan. Demikian juga mengumpulkan emas dan kekayaan dari air mata dan kesusahan orang miskin.

St. Gregory dari Nyssa (335 - 395) mengutuk praktek bunga karena menurutnya pertolongan melalui pinjaman adalah palsu. Pada awal kontrak seperti membantu tetapi pada saat menagih dan meminta imbalan bunga bertindak sangat kejam.
St. John Chrysostom (344 - 407) berpendapat bahwa larangan yang terdapat dalam Perjanjian Lama yang ditujukan bagi orang-orang Yahudi juga berlaku bagi penganut Perjanjian Baru. St. Ambrose mengecam pemakan bunga sebagai penipu dan pembelit (rentenir).

St. Augustine berpendapat pemberlakuan bunga pada orang miskin lebih kejam dibandingkan dengan perampok yang merampok orang kaya. Karena dua-duanya sama-sama merampok, satu terhadap orang kaya dan lainnya terhadap orang miskin.

Kesimpulan hasil bahasan para sarjana Kristen periode tersebut sehubungan dengan bunga adalah sebagai berikut : pertama, niat atau perbuatan untuk mendapatkan keuntungan dengan memberikan pinjaman adalah suatu dosa yang bertentangan dengan konsep keadilan. Kedua, mengambil bunga dari pinjaman diperbolehkan, namun haram atau tidaknya tergantung dari niat si pemberi hutang.

F. Kesimpulan

Riba berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.

Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua.Yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli.Riba hutang-piutang terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan riba jual-beli terbagi atas riba fadhl dan riba nasi’ah.

  • Riba Qardh
    • Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
  • Riba Jahiliyyah
    • Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
  • Riba Fadhl
    • Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
  • Riba Nasi’ah
    • Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

Bunga (Interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang di per-hitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut,berdasarkan tempo waktu,diperhitungkan secara pasti di muka,dan pada umumnya berdasarkan persentase.

Adapun bunga dapat di identikaan dengan riba, karena prinsip bunga adalah menambah/ melebihkan dari yang seharusnya, dalam konsep bunga bank, yang menjadi acuannya presentase dari bunga tersebu tadi dapat di identifikasi, bunga yang terdapat pada bank konfensional labih condong kea rah riba, karena yang menjadi acuan mereka adalah uang bukan apa yang dapat di usahakan dari uang yang beredar tersebut,

Menurut Fatwa MUI adalah Praktek Penggunaan bunga tersebut hukumnya adalah haram,baik di lakukan oleh Bank, Asuransi,Pasar Modal, Pegadian, Koperasi, Dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.

G. Daftar Pustaka

Ali, M. Daud. 1984. Kumpulan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Jakarta: Pustaka Panjimas

Antonio, Jose. 2006. Perbankan Syari’ah. Tazkia Institut & Bank Indonesia. Jakarta: Gunung Agung

Karim, Adiwarman. 2004. Bank Islam Analisih Fiqih dan Keuangan. Edisi kedua. Jakarta: Grafindo

_______________. 2002. Ekonomi Islam, Suatu Kajian Ekonomi Makro. Edisi Pertama . Jakarta: IIIT Indonesia

Zuhdi, Masjfuk. 1987. Masail Fiqhiyah. Jakarta: Gunung Agung

0 komentar: